#MahakaryaAyahIbu: Rumah dan Prototype Mimpi Kecil Kita

Dalam hidup ini ada hak-hak orang lain yang Tuhan titipkan melalui kehadiran dan penciptaan kita di dunia.

 

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik. 


Sore ini aku kembali. Kembali ke sebuah tempat yang seringkali kutinggal pergi namun entah mengapa ia selalu berhasil membuatku merasa rindu untuk pulang. Tempat itu bernama rumah. Tak dapat kupungkiri rumah selalu menjadi alasan tetes airmata yang mengalir di sela sujud dan doa yang terpanjatkan di cerahnya langit dhuha maupun di dinginnya sepertiga malam di negeri paman sam ini.

Sore ini .aku kembali. Dengan tekad untuk tak sekedar melunaskan rasa rindu pada rumah melainkan juga tekad untuk membangun negeri dan berkontribusi pada ibu pertiwi. Dengan segenap harap untuk tak sekedar melunaskan hutang bakti pada ayah dan ibu melainkan juga berusaha menyusun mozaik – mozaik ikhtiar yang semoga darinya terwujud mahakarya untuk Ayah dan Ibu.

Maka sore ini dengan segenap niat yang semoga selalu terjaga bersih dan suci aku memutuskan untuk meninggalkan negeri dengan segala hingar bingar hedonisme nya. Negeri yang sejatinya telah menawarkan makna kesejahteraan dan kebahagiaan dalam ukuran duniawi. Namun tekad untuk mencipta perubahan yang kokoh tak tertandingi di bumi pertiwi mengalahkan rasa nyaman dan aman dalam ranah finansial di negeri orang.

Maka sore ini aku kembali. Dengan detak jantung yang masih tak beraturan, jejak kaki ku melangkah perlahan keluar dari taksi yang membawaku dari bandara. Sengaja tak ku kabarkan orang rumah bahwa aku akan tiba hari ini. Terakhir kontak aku hanya mengatakan bahwa dalam pekan ini aku akan sampai di Indonesia.

Ada rasa yang bergemuruh dalam dada ketika kulihat di samping plakat kuning bertuliskan “Penjahit Sinar Muda” ada plakat putih bertuliskan “Klinik Bersalin Ananda” dan dibawah tulisan itu ada nama yang selama ini tak pernah alpa dalam doa – Dr. Dwiana Kartikawati Sp.OG- dan hal lain yang membuatku semakin speechless adalah ada bangunan lain yang berdiri kokoh disamping rumahku. Ketika pertama aku menginjakkan kaki di lantai rumah kulihat seorang bapak yang sedang serius menggerakkan mesin jahitnya. Karena seriusnya ia tak menyadari bahwa aku sedang berjalan menujunya.

“Ayaah..” Sapaku perlahan

dm-player

Beliau sedikit terkejut menyadari kehadiranku. Beliau mengamati sejenak gadis yang kini berdiri tepat di depannya. Gadis yang lima tahun lalu pamit untuk pergi sejenak mencari ilmu di negeri antah berantah dalam pandangan beliau. Beliau memperbaiki posisi kacamatanya, seolah ingin memastikan bahwa ia tak salah melihat obyek didepannya.

“Nduk, kamu pulaang?” Sebuah pertanyaan retoris dengan suara serak mengawali pertemuan kami sore itu. Air mata nya mulai menetes perlahan, pun denganku. Aku segera memeluknya erat. Iya, bapak itu adalah ayahku. Ayahku bekerja sebagai seorang penjahit. Pekerjaan itu telah mulai digeluti sejak beliau menginjak bangku SMA, melalui pekerjaan itu ayah membiayai sendiri biaya sekolahnya. Hingga sekarang pun pekerjaan itu masih menjadi tumpuan hidup keluarga kami.

Di detik berikutnya datang dua orang perempuan dengan tatap yang sama. Terkejut. Mereka adalah ibu dan saudara kembarku. Ibu tak bersuara apapun, beliau langsung memelukku. Erat sekali, seolah ia baru saja menemukan anaknya yang hilang. Dan saudara kembarku, ia masih sama dengan yang dulu, selalu menatapku dengan tatapan yang kasih, ia merangkulkan tangannya di wajahku seraya berbisik

“Selamat datang Change maker. Future leaders. lifetime partner kesayangan di kolong langit kita”

“Dokter, akhirnya hari ini aku bisa melihatmu dengan pakaian ini. Kita akan berkolaborasi menuju Indonesia yang kokoh tak tertandingi bukan? Grand design mimpi kita adakah masih tersimpan rapi dalam memori?” Aku melihatnya kini semakin cantik dengan balutan gamis warna merah muda dan jas dokter warna putih serta stetoskop terkalung di leher.

“Nii, kamu lihat bangunan di samping rumah kita? Itu prototype kecil mimpi kita..”

Iyaa sejak kelas 1 SMA, kami telah merumuskan mimpi bersama. Kami bermimpi untuk membangun Rumah Sakit (RS) dengan konsep RS profit - benefit. Sehingga akan ada dua RS yang kami bangun,  RS yang pertama adalah RS yang basisnya mencari laba (profit) sedangkan rumah sakit yang kedua adalah RS yang basisnya memberi manfaat (benefit) kepada masyarakat yang kurang beruntung.

Dan kelak RS profit-benefit ini adalah persembahan kami sebagai #Mahakaryauntukayahibu. Karena ayah dan ibu selalu mengajarkan kepada kami bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan kebermanfaatan bagi sesama. Dan cita-cita terbesar ayah dan ibu adalah ketika anak-anaknya dapat menjadi bagian dari jalan kemudahan bagi orang lain.

Sungguh dari keduanya, aku belajar makna kehidupan yang sebenarnya, belajar bahwa hidup tak sekedar mengejar mimpi dengan mengedepankan egoisme pribadi. Dalam hidup ini ada hak-hak orang lain yang Tuhan titipkan melalui kehadiran dan penciptaan kita di dunia.

Dwiani Kartikasari Photo Writer Dwiani Kartikasari

Sebaik - baik manusia adalah yang paling banyak menebarkan kebermanfaatan bagi sesama.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya