Meski Banyak Teror, London Tetap Jadi "Rumah" Nyaman Bagi Muslim

Inspirasi Ramadan IDN #Part21

Belakangan, sejumlah teror bom menghantui warga London, Inggris. Sebuah serangan bom bunuh diri terjadi di acara puncak konser Ariana Grande pada 22 Mei lalu. Selang dua pekan, serangan kembali terjadi. Kali ini, berasal dari  mobil van melaju kencang di jalur pedesterian London Bridge. Mereka memburu para pejalan kaki yang ada di lokasi. Akibatnya, jumlah Islamophobia yang dilaporkan terus meningkat di London.

Namun, hal berbeda dirasakan Aghnia Adzkia, warga negara Indonesia yang sedang menyelesaikan studi S2-nya di Goldsmiths College, University of London. Selama hampir satu tahun tinggal di London, ia tak pernah mendapat perlakuan tak menyenangkan terkait Islamophobia. Dia pun berbagi cerita, terutama terkait Ramadan tahun ini yang menjadi pengalaman pertamanya berpuasa di negeri orang sendirian.

Lebih lama lima jam, Nia melatih diri dengan puasa sunnah.

Meski Banyak Teror, London Tetap Jadi Rumah Nyaman Bagi MuslimInstagram/aghniaadzkia

Nia, sapaan akrab Aghnia Adzkia, terbiasa jauh dari keluarga karena merantau. Tapi, kali ini berbeda. Ia harus merantau ke negeri seberang dengan perbedaan waktu yang sangat signifikan. Berpuasa di London seorang diri menjadi pengalaman yang mengesankan.

Di sana, dia harus berpuasa selama sekitar 19 jam, sejak pukul 02.30 hingga 21.30-an. Lebih lama lima jam dibanding Indonesia. Bagi Nia, tak ada kesulitan yang berarti selama menjalani Ramadan di sana. Sebab, ia sudah melatih diri dengan berpuasa sunnah. Hanya saja, padatnya kegiatan di musim panas ini menjadikan tantangan puasa menjadi lebih besar. "Tubuhku sudah bisa beradaptasi," ujarnya.

Menyiapkan segala keperluan buka dan sahur sendiri.

Meski Banyak Teror, London Tetap Jadi Rumah Nyaman Bagi MuslimInstagram/aghniaadzkia

Alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu tinggal sendiri di sebuah flat yang berjarak sekitar dua kilometer dari kampusnya. Beberapa teman sesama muslim asal Indonesia tinggal dengan jarak yang lebih jauh. Hal ini membuat Nia harus menyiapkan segala keperluan buka puasa dan sahur seorang diri. Kadang, ia masak. Bila tak sempat, ia harus berburu takjil di masjid terdekat dan membeli makanan untuk sahur. 

Konsekuensinya, ia harus merogoh kocek lebih banyak, mengingat harga makanan dan jajanan di London cukup mahal. Gagal ngirit, katanya.  Tak hanya makanan pokok, tapi buah-buahan, sayur, dan suplemen juga menjadi stok wajib selama Ramadan. "Supaya tetap fit dan stamina terjaga selama puasa. Apalagi, nggak ada pengurangan kegiatan, kan," kata wanita kelahiran Semarang, 23 Mei 1991 itu.

Meski Banyak Teror, London Tetap Jadi Rumah Nyaman Bagi MuslimInstagram/aghniaadzkia

Kehangatan berbuka puasa bersama keluarga menjadi hal yang paling ia rindukan. Masakan Indonesia, sudah tentu paling diiidamkan. Berebut gorengan dan takjil sesama jurnalis di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi lebih "terasa nikmat", dibanding berburu takjil sendirian di London.  

dm-player

Baca juga:  Puasa Pertama Tanpa Ibu itu Rasanya...

Tak ada perbedaan antara sebelum dan setelah maraknya teror di London.

Meski Banyak Teror, London Tetap Jadi Rumah Nyaman Bagi Muslim

 

Satu hal yang paling Nia syukuri adalah ia tidak mengalami harrastment akibat Islamophobia, baik sebelum atau setelah maraknya teror bom di London. Kegiatannya tetap berjalan normal. Menurut dia, warga London cukup open minded . Mereka bisa membedakan mana orang Islam, mana orang yang hanya mengatasnamakan Islam dan melakukan serangan.

Sebagai seorang muslimah, ia kerap ditanya teman-temannya yang non-muslim dari beberapa negara. Biasanya, mereka bertanya tentang ajaran Islam, mengapa seorang wanita harus memakai jilbab, bagaimana cara salat, dan sebagainya. "Kami sering diskusi tentang Islam. Itu sudah biasa kami lakukan, ada atau tidak ada teror di London," kata mantan jurnalis CNN Indonesia itu.

Menurut dia, Islamophobia justru terjadi di wilayah kecil yang memiliki penduduk mayoritas muslim. Barangkali, kata dia, warga merasa lebih insecure dengan penduduk muslim yang berkelompok dalam satu wilayah.

Teror di London berdampak Islamophobia di Paris.

Meski Banyak Teror, London Tetap Jadi Rumah Nyaman Bagi MuslimFacebook/Aghnia Adzkia

Harrastment akibat Islamophobia tak hanya dialami sebagian warga muslim di London, tapi di negara lain juga. Salah satu teman Nia harus merasakan pahitnya dimaki-maki di tengah jalan di London karena berjilbab.

Teman lainnya yang tinggal di Perancis, Paris, juga mengalami hal serupa. Hal itu terjadi saat temannya naik bus. Seorang lelaki bertopi meneriakinya berkali-kali. "You're moslem, you're moslem! Get out!" Paris sendiri memang pernah mengalami teror bom seperti di London.

Meski demikian, Nia menganggap London masih menjadi "rumah" yang aman dan nyaman. Apalagi bagi para muslim. Karena sekali lagi, sebagian besar warga London memiliki pemikiran yang sangat terbuka, terdidik, dan well inform tentang Islam. Bila ada yang melakukan harrastment Islamophobia, kemungkinan besar orang tersebut belum mendapat informasi yang baik tentang Islam.

Baca juga: Kisah Pengajar Muda di Pulau Perbatasan, Tegar Meski Jauh Keluarga

Topik:

Berita Terkini Lainnya