Menanti Maghrib di Laut Baltik

Inspirasi Ramadan IDN #Part11

Tak ada kolak, es campur, atau pecel. Sore itu, Tinton dan beberapa awak kapal lainnya hanya berbuka dengan sup ayam serta minuman seadanya. Selain itu, kesempatan untuk berbuka juga tak panjang. Mereka hanya diberikan sekitar 30 menit sebelum harus kembali bekerja.

"Kalau begini, rasa rindu terhadap kampung halaman suka muncul," kata Tinton kepada IDN Times melalui sambungan telepon Selasa, (30/5). Tinton Arya Sasmita merupakan pria asal Temanggung Jawa Tengah yang saat ini sedang bekerja sebagai awak sebuah kapal wisata. Sudah lebih dari 7 tahun ia menggeluti profesi tersebut.

Matahari bisa bersinar hampir 24 jam penuh.

Menanti Maghrib di Laut BaltikDok. Pribadi

Menurut Tinton, puasa di negara orang selalu butuh perjuangan ekstra. Selain rindu suasana kampung halaman, durasi yang lebih panjang juga menjadi kendala lain. Seperti saat menjalankan puasa hari pertama lalu. Tinton yang saat ini sedang berada di laut Baltik, wilayah antara Denmark dan Estonia, mengatakan bahwa patokan utama untuk berbuka puasa adalah terbenamnya matahari. Maklum, suara adzan Maghrib hampir tak pernah terdengar. Padahal, di belahan bumi utara matahari baru akan tenggelam sekitar pukul 23.00 waktu setempat.

Belum lagi jika sedang berada di Islandia atau Kutub Utara, matahari bisa bersinar hampir 24 jam dalam sehari. Di sisi lain, para awak kapal sudah harus menyantap sahur pada pukul 02.00 dini hari. Artinya, mereka harus berpuasa lebih dari 20 jam sehari.

Namun, Tinton dan beberapa muslim lainnya punya cara lain. "Beberapa negara memang berpatokan pada sunset . Tapi, beberapa ulama berpendapat bahwa dalam kondisi tertentu tak perlu menunggu matahari terbenam," kata Tinton. Mengacu pada pendapat ulama tersebut, lajang 27 tahun tersebut memilih berbuka jika durasi puasa sudah lebih dari 14 jam.

Baca juga: Kisah Ojek Wanita Pertama: dari Merintis hingga Buka Donasi

Rindu yang terhalang paket data.

Menanti Maghrib di Laut BaltikDoc. Pribadi
dm-player

Jika durasi puasa bisa diatasi dengan pendapat ulama, tidak demikian dengan rasa rindu. Biasanya, kata Tinton, perasaan tersebut selalu muncul kala berbuka. "Ya pasti kangen masakan ibu," ujarnya. Jika sudah begitu, obat paling mujarab adalah dengan telepon, atau video call. Sayang, harga paket data di kapal tak murah. Untuk 1 gigabyte data saja, dia harus merogoh kocek hingga Rp 600 ribu. 

Jika beruntung, ada soto dan rendang saat sahur.

Menanti Maghrib di Laut Baltikwww.travelfoodfashion.com

Cara lain untuk mengobati kerinduan adalah dengan menyempatkan sahur bersama awak kapal asal Indonesia. Tak seperti waktu buka puasa yang sempit, para awak punya lebih banyak kesempatan untuk bercengkrama saat sahur karena bersamaan dengan jam istirahat. Jumlah awak yang berasal dari Indonesia sendiri, kata Tinton, sekitar 40 orang.

Sahur juga menjadi salah satu momen yang dinanti. Pada saat inilah tak jarang ada menu Indonesia tersaji. Mereka biasanya akan secara suka rela bergantian memasaknya. "Jika beruntung biasanya ada rendang hingga soto ayam," kata dia.

Mulai berpikir untuk "bersandar".

Menanti Maghrib di Laut BaltikDoc. Pribadi

Puluhan negara dan tempat unik dunia memang telah dijelajahi oleh Tinton. Betapa tidak, dia sudah mulai melaut sejak berusia 18 tahun. Bahkan, kala itu dia sempat menjadi awak kapal termuda. Betapa pun bangganya Tinton sebagai pelaut, terkadang terbersit pikiran untuk berhenti. "Kemungkinan tahun ini terakhir, setelah itu buka usaha di Indonesia saja," tuturnya.

Bukan apa-apa, laut memang menyuguhkan jutaan pengalaman baginya. Namun diakui Tinton, keinginan untuk berkeluarga dan menetap di sebuah daerah adalah mimpi besar selanjutnya.

Baca juga: Indahnya Ramadan Bagi Seorang Mualaf

Topik:

Berita Terkini Lainnya