Ketika Pendapat di Media Sosial Dijadikan Sebuah Kebenaran

Ingat, mereka juga manusia. Jangan dihakimi sembarangan

Pada awal bulan Desember ini, netizen di sekitar Yogyakarta memenuhi linimasa media sosial dengan keributan. Mereka meributkan kondisi kebun bunga amarilis yang mengalami kerusakan akibat kunjungan wisatawan tak bertanggungjawab. Wisatawan tak bertanggungjawab itu pun identitasnya tersebar luas karena mengunggah foto-foto dirinya yang tengah berpose di kebun bunga.

Tak lama berselang setelah kebun bunga amarilis menjadi trending topic, berbagai komentar bermunculan. Ada yang pro dan menganggap unik karena menemukan tempat wisata baru. Sebagian orang lainnya justru pesimis terhadap mentalitas bangsa yang suka merusak dan sukar menghargai kelestarian alam di tempat wisata.

Ketika Pendapat di Media Sosial Dijadikan Sebuah Kebenaran Sumber Gambar: jogjamedia.co

Maka pada minggu keempat di bulan November 2015, perdebatan antara kelompok pro dan kontra merenggang. Perdebatan merenggang karena perdebatan tersebut hanya menyisakan satu kubu, para haters. Kelompok yang tadinya pro ternyata telah beralih mendukung kubu kontra. Peralihan itu terjadi setelah berdar foto-foto susulan bergambar tanaman-tanaman amarilis yang telah rusak gegara polah para pengunjung.

Ketika Pendapat di Media Sosial Dijadikan Sebuah Kebenaran Sumber Gambar: kapanlagi.com

Kemarahan para netizen memuncak setelah menemukan beredarnya gambar screen shoot dari beberapa pelaku pengrusakan. Jawaban mereka seolah menghidupkan bara api dalam sekam. Publik pun secara psikologis pastilah mudah tersulut, karena seolah merasa ditantang. Pada kondisi inilah para netizen dari kubu kontra berpotensi melakukan pelampiasan membabi buta.

Ketika Pendapat di Media Sosial Dijadikan Sebuah Kebenaran Sumber Gambar: www.timlo.net

Kini kedua akun di atas kemudian tingkat privasinya dirubah menjadi tertutup. Kemungkinan besar untuk menghindari hujatan para netizen serta sanksi sosial yang lebih berat. Kemarahan masyarakat di media sosial mampu membuat mereka terasing seperti ini. Bayangkan apa yang bakal mereka terima jika berhadapan dengan masyarakat yang marah di dunia nyata.

Ketika Pendapat di Media Sosial Dijadikan Sebuah Kebenaran Sumber Gambar: kapanlagi.com
dm-player

Berbicara soal sanksi sosial, ingatkah kawan-kawan pada kasus Florence Sihombing di Yogyakarta silam? Dia diadili di pengadilan setelah sebelumnya dihujat oleh netizen habis-habisan. Selain itu Flo juga menerima berbagai ancaman, bahkan tuntutan untuk dikeluarkan dari program studi kuliahnya.

Pernah ada kasus lain yang serupa terjadi di luar negeri. Justine Sacco yang pernah menyunting kicauan di Twitter. Dia akan berangkat berlibur ke Afrika di akhir tahun. Sayangnya, gurauan yang Justine sunting membuatnya kebakaran jenggot sampai ia harus dipecat dari jabatan kepala humas di sebuah perusahaan media.

Ketika Pendapat di Media Sosial Dijadikan Sebuah Kebenaran Sumber Gambar: assets2.jpnn.com

Lewat ketiga kasus di atas, ada benang merah yang bisa ditarik; ketiganya menyunting pendapat pribadinya di ruang sosial dunia maya. Maka apa yang mereka tulis dianggap sebagai representasi kepribadiannya. Memang sungguh luar biasa manusia Indonesia, bisa mengerti kepribadian manusia secara utuh dari media sosialnya.

Mari kita renungkan lebih dalam. Apakah pantas sebuah komentar sederhana menimbulkan dampak seseorang hidupnya terlunta-lunta, dipecat dari pekerjaan, sampai diadili di meja hijau layaknya kriminal?

Anda boleh berkata bahwa masyarakat tersinggung dengan komentar oknum-oknum yang menjelek-jelekan sesuatu lewat komentarnya. Namun apakah lantas kita lebih baik dari mereka, ketika kita pun meresponnya dengan kata-kata jelek yang lebih kasar? Bukankah kalau kita melakukannya, itu berarti kita sama buruknya?

Ketika Pendapat di Media Sosial Dijadikan Sebuah Kebenaran Sumber Gambar: notadamandsteve.com

Masyarakat Indonesia mudah terbius dengan suasana dan pendapat mayoritas. Semakin banyak orang yang memiliki pendapat sama, maka itu semakin bagus. Tak ada lagi ruang kebebasan berekspresi yang dijamin oleh negara. Kita merasa kuat karena ada banyak orang yang melakukan hal sama, meskipun hal yang sama itu belum tentu terjamin kebenarannya.

Sayangnya bila kami boleh berpendapat, kebanyakan netizen dari Indonesia masih memegang satu jargon di media sosial. Jargon itu berbunyi, "Tak masalah mana yang benar. Yang benar pastilah pendapat mayoritas. Kalau sudah pendapat mayoritas, maka kita bisa melakukan apa saja, termasuk menyiksa orang di dunia nyata."

Jadi, netizen seperti apakah kamu ketika menggunakan media sosial?

Topik:

Berita Terkini Lainnya