Tinggal di Asrama Katolik Membuat Imanku Semakin Tebal
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Kita tentu sudah terbiasa diajarkan untuk hidup di dalam keberagaman. Indonesia sendiri merupakan negara dengan suku plural dan agama yang heterogen. Tenggang rasa merupakan hal yang patut ditanamkan dalam masing-masing pribadi, jika ingin sukses hidup beriringan meski warna kulit, kebudayaan, dan keyakinan tak sama.
Adanya banyak keyakinan berbeda di Indonesia juga memunculkan ragam institusi di negeri ini yang berlandaskan keyakinan tertentu. Misalnya saja sekolah muslim, universitas Kristen, atau asrama Katolik. Keberadaan institusi tersebut bukan bermaksud mengotak-ngotakkan, karena tidak ada diskriminasi ketika ketika ada individu berkeyakinan lain masuk ke salah satu institusi tersebut. Justru, mereka mendapat pelajaran berharga yang bisa digunakan sebagai bekal kehidupan mendatang.
Seperti salah satu pengalaman kawan saya yang akrab disapa Bilqista Hernindya Pradnyaparamitha, 25 tahun. Seorang muslim yang tinggal di Asrama Katolik di kota pelajar, Yogyakarta, selama empat tahun.
1. Masuk ke lingkungan yang berbeda tentu ada penyesuaian di sana-sini, tapi ini bukan halangan yang berarti.
2. Berdoa dan ibadah bukan jadi hal sulit, mereka tak masalah berbagi ruangan untuk salat.
3. Ketika jam doa tiba, semua warga asrama diwajibkan berdoa kecuali yang berbeda keyakinan.
Di asrama Katolik, jam berdoa terbilang ketat. Ada doa pagi dan juga doa malam yang wajib dilakukan oleh semua warganya. Terutama pada bulan Mei dan Oktober yang menjadi bulan Maria. Semua umat Katolik rutin mengadakan doa Rosario. Namun, hal ini tentu bukan merupakan kewajiban bagi mereka yang tak memeluk Katolik. Tidak ada paksaan untuk ikut berdoa.
"Saya selalu diberikan waktu untuk ibadah saya sendiri."
4. Untuk makanan yang haram bagi umat muslim, mereka bakal mengingatkan dan tidak menjerumuskan, atau menggodanya hingga ingin mencoba.
Editor’s picks
Baca juga : Inspirasi Ramadan : Indahnya Ramadan Bagi Seorang Mualaf
5. Puasa menjadi tantangan tersendiri, tapi niat berpuasa ditempa lebih kuat di sini.
Niat berpuasa justru menjadi semakin kuat dari lingkungan asrama ini. Jika sudah ada niat, maka godaan apapun bisa dijadikan penyemangat. Jadi, tidak masalah mau berpuasa di tengah umat muslim atau Katolik sekalipun, karena semuanya kembali pada diri sendiri. Yang penting adalah niatnya. Selain itu, di asrama juga menyediakan menu sahur bagi yang muslim, sehingga kami tidak perlu repot-repot mencari makanan di luar.
6. Kalau ada keinginan nggak puasa, justru teman-teman non-muslim yang mengingatkan untuk tetap teguh dan kuat menahan lapar dan dahaga.
Keinginan untuk membatalkan puasa tentu saja pernah ada. Misalnya, karena cuaca sedang panas-panasnya atau ketika tak kuat menahan godaan di sekitar. Namun, seringnya peringatan untuk meneruskan puasa justru didapatkan dari teman-teman non-muslim. Mereka menghargai dan berusaha turut menjaga niat kami.
7. Saya memberi ucapan Selamat Natal, mereka mengucapkan Selamat Lebaran.
"Saya diberi ucapan selamat lebaran, saya pun balik mengucapkan selamat Natal. Selama bertahun-tahun ada dalam lingkup perbedaan agama, saya merasa tidak terancam maupun mengancam."
8. Keberagaman itu indah. Saya dan mereka bisa hidup rukun di bawah atap yang sama.
"Asalkan kita memiliki toleransi dan iman yang kuat, perbedaan agama tidak menjadi halangan."
Baca juga : Inspirasi Ramadan: Meski Umat Kristiani, Aku Ikut Puasa Penuh