Inspirasi Ramadan: meski Umat Kristiani, Aku Ikut Puasa Penuh

#RamadanMasaKini Awalnya terjadi konflik batin, lama-lama...

Panggil saja aku dengan sapaan Yohannes, tanpa menyertakan Wijaya sebagai nama belakangku. Aku berasal dari sebuah keluarga kecil yang berdomisili di Pasuruan, Jawa Timur.

Aku tak bisa memilih dilahirkan dengan agama lain selain Kristen karena keluarga besarku memeluknya secara turun menurun. Tak pernah ku bayangkan aku mengikuti ibadah agama lain.

Ibadah dari agamaku sendiri saja sering ku tinggalkan, apalagi harus mencicipi ibadah orang lain. Tapi semuanya berubah ketika aku menginjak usia sekitar 17-an tahun.

1. Aku dilahirkan dan dibesarkan di keluarga Kristen

Inspirasi Ramadan: meski Umat Kristiani, Aku Ikut Puasa Penuhrawpixel.com

Apalah arti sebuah agama kalau seseorang yang mengembannya tidak mendalaminya secara baik. Memang, aku dilahirkan dalam keluarga Kristen, tapi agama tersebut seakan-akan hanya menjadi penanda KTP.

Ketika ada acara Paskah atau Natal, kami pergi ke GKJ (Gereja Kristen Jawa). Kadang ke gereja, kadang juga absen. Terutama ketika sakit ayahku kambuh, sudah dapat dipastikan kami tidak akan pergi ke gereja, terutama pada hari Minggu.

Kami bukanlah keluarga yang setiap pagi selalu ada saat teduh bersama. Bahkan ketika makan pun, doanya juga sendiri-sendiri.

Itu pun kalau ada yang ingat. Waktu kita untuk berdoa bersama hanya saat ada anggota keluarga yang merayakan ulang tahun, atau saat-saat terakhir bersama ayah.

Baca Juga: Indahnya Berlipat Ketika Puasa di Tengah Keluarga non-Muslim

2. Dinamika keluargaku berubah saat ayah meninggal dan bapak masuk ke dalam kehidupan kami

Inspirasi Ramadan: meski Umat Kristiani, Aku Ikut Puasa Penuhstocksnap.io

Enam tahun lalu menjadi momen terburuk di hidupku. Ayah meninggalkan kami semua, memberikanku tanggung jawab sebagai anak laki-laki pertama untuk menjaga ibu dan adik-adikku.

Aku harus memikirkan tunggakan biaya pengobatan, mengurus biaya kematian, serta biaya-biaya lainnya. Berat memang, otomatis kami harus mengencangkan ikat pinggang. 

Ibu pun juga bekerja lebih keras. Ketika masa liburan, aku bekerja serabutan untuk mendapatkan sejumlah uang.

Di masa-masa inilah,  kegiatan gereja benar-benar terbengkalai. Kalau gak capek, kami akan pergi. Kami pun lebih memilih istirahat bila terlampau lelah.

Empat tahun kemudian, datanglah bapak, suami ibu yang baru. Bapak sosok baik hati dengan senyuman ramahnya yang khas.

Dia menerima kondisi keluarga kami apa adanya. Ia tahu, kami bukan berasal dari keluarga yang seiman dengannya.

Dia tak  pernah memaksakan aku dan adik-adikku harus masuk Islam setelah menikahi ibu. Hanya saja, ibu wajib masuk Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat karena menikah dengan bapak.

3. Sebagai umat Kristiani, berpuasa menjadi hal yang SANGAT BERAT!

Inspirasi Ramadan: meski Umat Kristiani, Aku Ikut Puasa Penuhthepost.com
dm-player

Sejak awal, kami bukanlah keluarga muslim. Tidak ada larangan mengonsumsi makanan apa pun. Bahkan, kami juga tidak diwajibkan menjalani puasa. Namun, segalanya berubah sejak ibu menikah dengan bapak.

Meski bapak tak pernah meminta kami seiman dengannya, ibu selalu mengingatkan putra putrinya. "Apakah kamu tega makan dan minum di depan ibumu yang baru pertama kali menjalani puasa?" kata ibu kala itu. Hal ini menjadi konflik batin kami.

Di puasa Ramadan tahun pertama, ibu menjadi mualaf, dan aku harus diam-diam makan di dalam kamar. Aroma makanan yang ku jaga betul supaya tak menerobos keluar kamar dan mengganggu ibadah puasa bapak dan ibu.

Setelah makan, aku biasa menyemprotkan parfum ke kamar supaya aroma khas makanan pudar. Beberapa kali ibu memergokiku membawa makanan ke dalam kamar secara diam-diam.

Ibu pun menawariku untuk melahapnya di meja makan, bukan di dalam kamar. Tapi, melihat sorot matanya, aku tak sampai hati menerima tawaran ibu. Ia pun berusaha setengah mati menahan rasa lapar hampir seharian.

Bahkan, ibu selalu memalingkan pandangannya ketika melihat air minum. Kami pun tak menutup mata, aku dan adik-adikku membantu ibu menyiapkan hidangan makan sahur dan buka puasa.

4. Tahun ini, kami mulai berpuasa penuh. Bapak dan ibu bahagia karena toleransi itu nyata

Inspirasi Ramadan: meski Umat Kristiani, Aku Ikut Puasa Penuhnbcnews.com

Berbeda dengan tahun lalu yang dipenuhi konflik batin cukup kuat, kami memutuskan ikut berpuasa bersama bapak dan ibu pada tahun ini. Mereka bahagia melihat putra-putrinya mau berpuasa.

Tak ada paksaan, mereka justru mengingatkan kami untuk berbuka di siang hari kalau tak kuat. "Jangan memaksakan diri," kata Bapak.

Bukan tanpa dialektika batin, aku sering mempertanyakan keyakinanku sendiri. Apakah dengan aku ikut berpuasa seperti umat Islam, itu artinya aku mencurangi keyakinanku sendiri.

Sempat ku tanyakan kepada pendeta dan bapak mengenai hal itu. Mereka kompak menjawab bahwa sikapku merupakan bentuk toleransi dan patut diapresiasi.

Bapak pun memberikan sejumlah tips menjalani puasa supaya lancar. Dia menilai sikap kami sudah lebih dewasa dibanding sebelumnya. Alhasil, kami menjalankan ibadah puasa dengan hati tenang dan damai.

Meski ikut berpuasa Ramadan, aku belum tentu akan berpindah keyakinan menjadi seorang muslim. Namun, yang kuyakini, aku tidak menodai agamaku ketika ikut berpuasa, mengikuti jam sahur, dan berbuka seperti bapak dan ibu.

Tak hanya kami yang menerapkan toleransi beribadah, bapak pun bersikap demikian. Saat Natal, bapak membelikan kado untuk kami.

Dia juga tak pernah absen mengingatkan kami beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Bapak sering mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi Indonesia saat ini yang minim toleransi.

Menurut dia, toleransi bangsa Indonesia sudah tumpul dan memudar. Semua orang mengagungkan agamanya sendiri-sendiri. Padahal, kata dia, tidak ada agama yang lebih unggul. Sebab, setiap agama mengajarkan kebaikan.

Menurutku, semua sikap kembali kepada orangnya masing-masing, seberapa besar imanmu siap untuk belajar sikap toleransi ini. Percuma saja kalau kita berteriak-teriak toleransi, kalau hanya tahu sebatas teori saja.

Kalau aku  saja bisa meletakkan egoku dan mengesampingkan idealisme agamaku, kenapa kamu tak bisa melakukannya juga? Mudah kok, asal kamu punya hati yang ringan untuk melakukannya.

Jangan biarkan toleransi beragama mati di negara kita. Ingat, negara kita dibangun atas dasar keanekaragaman agama dan budaya. Jika kamu hanya mementingkan ego satu agama, aku yakin kamu akan sulit mendapati kedamaian diri seperti yang sedang kurasakan sekarang.

Baca Juga: [LINIMASA] Fakta dan Data Arus Mudik Lebaran 2019

Topik:

  • Dewi Suci Rahayu

Berita Terkini Lainnya