Jodoh = ½ Dirimu

#14HariBercerita Jodoh itu seperti separuh dirimu

 

Kutatap wajahnya lekat, tentu tanpa sepengetahuannya. Dia wanita berkulit putih, cantik, meski usianya sudah menginjak usia keemasan. Dia sedang terlihat sibuk mondar mandir di depan kompor sementara aku sibuk memotong sayuran di meja. Dia adalah ibuku, wanita yang rambutnya mulai memutih tapi masih memancarkan kecantikan yang sama seperti beberapa tahun lalu.

Aku dan ibuku cukup dekat. Aku selalu terbuka dengannya dalam hal apapun. Cerita tentang beberapa orang yang pernah kukenal pun tak terlewat. Ibuku pun sama, dia selalu bercerita banyak hal bahkan tentang perasaannya yang terdalam sekalipun.

Seperti cerita tentang pertemuan ibu dengan jodohnya, ayahku. Semua berawal saat laki-laki tinggi berkulit cokelat itu datang ke rumah orang tua ibuku. Ia datang atas permintaan nenekku yang saat itu kebingungan medapati kakekku terbaring sakit. Ayahku adalah seorang pegawai kesehatan saat itu, orang-orang sering menyebutnya mantri.

Saat itulah, saat laki-laki bertubuh atletis itu memeriksa keadaan kakekku, ia melihat ibuku, wanita yang kala itu masih sangat belia, masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Pertemuan pertama mungkin belum meninggalkan kesan yang mendalam, namun yang kedua, ketiga, dan seterusnya tentu saja membekas. Apalagi sejak saat itu, laki-laki yang sangat suka berolahraga itu kerap kali mampir ke rumah nenekku meski kakekku dalam keadaan baik-baik saja.

Tamat dari bangku SMP, ibuku dilamar ayah. Ibuku tidak menolak dan nenekku pun setuju dengan pertimbangan pekerjaan ayah saat itu cukup menjamin. Keduanya pun menikah tanpa hambatan.

Keluarga baru mereka jalani. Waktu itu, ibuku ingin mendaftar sekolah guru, tapi ayahku menyuruh menunda dulu karena ibu sedang mengandung kakak pertamaku. Ayahku bilang, tunggu sampai melahirkan. Tapi kadar Allah, setelah melahirkan, setelah ayahku mengijinkan ibu mendaftar sekolah guru, pendaftaran itu tidak pernah terbuka lagi. Ibuku akhirnya menjadi ibu rumah tangga hingga saat ini.

Telah banyak kerikil bahkan batu gunung yang menghantam pertahanan cinta ibu dan ayah. Telah banyak juga air mata yang tumpah dari dua mata bening itu. Aku pun menjadi saksi perjalanan mereka.

Bagaimana ibu begitu sabar dan menyabaran kami saat menadah air hujan yang jatuh dari atap rumpia yang sudah tua, saat mengungsikan kami ke rumah tetangga ketika angin kencang datang karena takut rumah kami rubuh, saat harus mengangkut barang-barang karena pindah rumah berulang kali sampai akhirnya kami punya rumah sendiri.

Bagaimana ibu begitu tabah dan menabahkan kami saat tahu ayah sudah tidak bisa bekerja lagi karena sakit, saat ayah harus berteriak kesakitan karena penyakitnya kambuh, saat ayah harus keluar masuk rumah sakit bahkan sampai koma. Dan bagaimana ibu masih setia mendampingi hingga kini.

Di luar sana, banyak sekali suami isteri yang bercerai hanya karena hal sepele. Hanya karena tidak dinafkahi secara cukup, hanya karena suaminya sudah tidak ada daya berbuat apa-apa lagi, hanya karena pertengkaran yang datang sekali-kali. Ibu telah menghadapi semua itu dan ia berhasil bertahan dengan cintanya.

dm-player

“Ti, panggil ayahmu makan ya…” Ibu sedikit mengejutkanku. Aku masih saja hanyut dalam pikiranku sendiri. Aku segera bangkit dari dudukku.

“Yah, makan. Hidangannya sudah siap.” panggilku dari balik pintu kamar ayah.

Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki berkulit cokelat, berperut buncit, beruban, berkeriput, berjalan dengan hati-hati karena takut jatuh keluar dari kamar. Ia tersenyum sembari menuju meja makan. Meja yang dipenuhi menu khusus yang berbeda dengan menu keluarga yang lain. Ya, ibuku setiap harinya membuat dua menu berbeda. Semenjak sakit, ayahku menjadi sangat pemillih.

Ayahku, badannya sudah tidak setegap dulu, perutnya tidak se-six pack dulu, wajahnya mungkin juga tidak setampan dulu sejak keriput itu sudah tak malu-malu, sementara ibuku masih terlihat cantik dan juga bugar. Pernah ada yang mengira kalau ibuku itu isteri muda ayahku dan yang lebih menggelikan, ada yang mengira kalau ibuku adalah anak tertua ayahku. Aku hanya bisa tersenyum mengenang semua itu.

Dulu aku pernah bertanya-tanya, apa yang membuat ibuku bertahan hingga saat ini setelah menghadapi begitu banyak cobaan dan rintangan yang tidak mudah. Tapi sekarang tidak lagi. Hari ini aku telah menemukan jawabannya, yaitu jodoh.

Jodoh, bukan tentang si cantik bertemu dengan si tampan, si cerdas bertemu dengan si pintar, si kaya bertemu si konglomerat, atau si sehat bertemu dengan si bugar. Jodoh adalah pertemuan antara dua orang yang tidak sempurna untuk saling menyempurnakan.

Aku pernah bercanda, bertanya pada ibu, mengapa ia masih bertahan. Ibuku tersenyum kala itu. Ia melihatku seperti melihat seorang anak kecil yang tak mengerti apapun. Ibu bilang; Suatu hari nanti kamu akan mengerti Ti. Suatu hari nanti kamu akan tahu bagaimana rasanya. Dan saat itu tiba, seberat apapun ujian yang datang menghadangmu, maka semua terlihat tak berarti apa-apa. Jodoh itu seperti separuh dirimu. Jika ia bahagia, maka kamu pun akan merasa bahagia. Sebaliknya, jika ia sedih maka kamu akan ikut merasa sedih. Tidak salah jika pada akhirnya seseorang akan lebih memilih membahagiakan jodohnya ketimbang membahagiakan dirinya sendiri. Jika sudah seperti itu, maka tidak ada lagi alasan untuk pergi.

***

“Sebaik-baik wanita adalah yang jika kalian (para suami) melihatnya akan menyenangkan hatimu, apabila diperintahkan dia taat, apabila kamu tidak di sampingnya, dia akan menjaga diri dan hartamu.” (Al-Hadits)

Dan bagiku, ibuku adalah sebaik-baik wanita yang pernah aku jumpai hingga saat ini dan juga nanti.

(Wotu, Kamar tercinta, 14/2/2017. Ketika hati belum menemukan setengahnya lagi)

 

Nurhudayanti Saleh Photo Writer Nurhudayanti Saleh

Independent Writers -Menulis kebaikan sebagai bekal setelah kematian-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya