Teruntuk “Langit” yang Bisa Kupandang Namun Tak Bisa Kugapai
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Aku adalah “seekor burung” yang lain daripada yang lainnya. Tak seperti burung lain yang memiliki sayap, sayapku patah sejak cangkang pembungkusku retak. Kupikir setiap burung memiliki sayap yang sama, tapi ternyata hanya sayapku saja yang tak bisa memeluk angin.
Sejak lahir hidupku dua kali lipat lebih berat daripada burung-burung lain, mulai dari susuah mencari makan sampai menanggung cemoohan tiada henti. “Dasar burung tidak bisa terbang.” begitu katanya. Bukan hal yang mudah hidup dengan sayap yang patah, apalagi jika engkau adalah pengangum “langit”.
Langit dan angkasa adalah jiwaku.
Sosokmu adalah penyejuk hati di padang tandus.
Taukah kau wahai langit, engkau adalah hal terhebat yang pernah kulihat. Sosokmu adalah penyejuk hati dipadang tandus, yang membuatku percaya bahwa hidup harus terus berlanjut. Lewat sosokmu aku belajar bahwa sebesar apapun badai yang kau hadapi engkau selalu lebih besar daripada bedai tersebut. Dan aku yakin bahwa hatiku juga sama, akan selalu lebih besar daripada cemoohan yang datang kepadaku. Wahai langit, kau adalah inspirasiku.
Editor’s picks
Akan tetapi, kita hidup dalam asumsi dan persepsi kita sendiri.
Orang bijak bilang bahwa kita ini hidup dalam asumsi dan persepsi kita masing-masing. Dan aku rasa itu benar, selama ini aku hidup dalam asumsi dan persepsiku sendiri. Aku sadar bahwa aku hanya subjek kecil yang bahkan hampir tidak terlihat keberadaannya. Seekor burung kecil tak berdaya yang bahkan tidak pantas disebut sebagai burung. Jika ada orang yang bertanya siapa burung paling bodoh di dunia, maka jawabannya adalah aku.
Ya, aku. Aku adalah burung paling bodoh karena aku telah mendambamu wahai langit. Bagaimana bisa seekor burung cacat sepertiku mendambakan langit yang begitu tinggi? Aku mungkin membutuhkan cermin yang begitu besar. Selama ini aku menganggap bahwa aku selalu bisa menggapaimu kapan saja, tetapi pada kenyataanya itu hanya imajinasiku saja.
Berkali-kali aku mencoba hasilnya tetap sama, aku tak pernah bisa menggapaimu. Seberapa keras atau seberapa cepatpun kukepakan sayapku, kecepatannya tak pernah cukup untuk membuatku terbang menujumu. Begitulah kenyataannya. Kita hidup dalam asumsi dan persepsi kita sendiri.
Meskipun langit tak pernah bisa kugapai, aku tidak pernah menyesal.
Wahai langit kau tahu, meskipun aku tidak pernah bisa menggapaimu, aku tidak pernah menyesal mendambamu. Karena berkatmu aku sadar bahwa yang bisa membuat kita terbang bukanlah sayap, melainkan hati. Hati yang tulus yang bisa menerima apapun keadaan kita dan hati yang luas yang bisa menampung semua angan dan cita-cita. Terima kasih wahai langit, terima kasih.