Meski Jadi Minoritas, 7 Perempuan Muslim Amerika ini Buktikan Bisa Tetap Berprestasi

Melawan stereotype

Sepanjang tahun 2016, Islamophobia menyelimuti Amerika Serikat. Bahkan, salah satu universitas ternama Amerika, University of California Berkeley, yang bekerjasama dengan Council on American-Islamic Relations sempat melaporkan hasil riset mereka tentang 74 kelompok di mana beberapa di antaranya menerima dana lebih dari 2,7 triliun rupiah untuk memompa ketakutan warga Amerika terhadap orang-orang Islam dengan berbagai cara.

Namun, meski menjadi minoritas dan dibayang-bayangi stereotype negatif, tujuh perempuan ini membuktikan bahwa mereka tetap bisa berprestasi di bidang masing-masing. Mereka mampu menunjukkan walaupun berada dalam berbagai keterbatasan, mereka sanggup berperang melawan penilaian miring yang mereka terima setiap hari.

1. Ilhan Omar (politisi di Minnesota sekaligus Direktur Policy and Initiatives of the Women Organizing Women Network).

Meski Jadi Minoritas, 7 Perempuan Muslim Amerika ini Buktikan Bisa Tetap BerprestasiStephen Maturen/AFP/Getty Images via theguardian.com

Ilhan Omar adalah anggota dewan di Minnesota, Amerika Serikat. Perempuan berusia 35 tahun ini adalah seorang imigran. Ia lahir di Somalia, menghabiskan empat tahun di kamp pengungsi di Kenya, lalu pindah ke Amerika Serikat pada usia 12 tahun. Ilhan Omar adalah perempuan Muslim asal Somalia pertama yang berhasil memenangkan pemilu legislatif di tahun 2016 lalu. Ia berjuang untuk keadilan ekonomi dan sosial serta energi bersih.

2. Linda Sarsour (aktivis dan Direktur Eksekutif Arab American Association di New York).

Meski Jadi Minoritas, 7 Perempuan Muslim Amerika ini Buktikan Bisa Tetap BerprestasiHenry Ray Abrams/AP Photo via msnbc.com

Linda adalah perempuan Muslim berusia 37 tahun yang lahir di Brooklyn, New York. Presiden Obama sempat menganugerahinya dengan status 'Champion of Change' atau Pejuang Perubahan karena kegigihannya memperjuangkan hak warga Muslim Amerika Serikat. Linda adalah salah satu tokoh yang berjuang agar sekolah-sekolah di New York diliburkan pada dua hari raya Islam. Ia juga termasuk dalam salah satu penggagas Women's March on Washington -- aksi damai para aktivis yang diselenggarakan sehari setelah pelantikan Donald Trump untuk ingatkan perjuangan hak perempuan belum usai.

3. Ghazala Khan (ibu dari tentara Muslim Amerika yang meninggal di Irak pada tahun 2004).

Meski Jadi Minoritas, 7 Perempuan Muslim Amerika ini Buktikan Bisa Tetap BerprestasiABC Television Group via dailydot.com

Salah satu propaganda yang digunakan oleh Donald Trump dan tim suksesnya selama kampanye adalah fitnah bahwa Muslim Amerika Serikat tak mencintai Amerika. Ghazala Khan dan suaminya diundang ke Konvensi Partai Demokrat untuk menunjukkan bahwa itu tak benar. Ghazala adalah ibu dari Humayun Khan, tentara Muslim Amerika yang meninggal saat perang Irak tahun 2004. Saat di konvensi, ia membiarkan suaminya yang berbicara, sementara ia berdiri di sampingnya. Trump pun mengkritik Ghazala karena diam saja. Ia pun merespon melalui sebuah kolom di Washington Post dengan pernyataan: Tanpa berkata sepatah kata pun, seluruh dunia, seluruh Amerika, merasakan kepedihanku.

Baca Juga: [VIRAL] Para Feminis Bercadar di Arab Saudi Tuntut Persamaan Hak Melalui Video Keren Ini!

4. Amani Al-Khatahtbeh (penulis dan tokoh media Muslim ternama di Amerika Serikat).

dm-player
Meski Jadi Minoritas, 7 Perempuan Muslim Amerika ini Buktikan Bisa Tetap BerprestasiKatie Booth/Women in the World/The New York Times

Amani kini baru berusia 24 tahun, tapi di tahun 2015 The New York Times sudah menyebutnya sebagai 'the new media titan' atau 'penguasa baru di bidang media'. Amani adalah editor-in-chief dari situs perempuan Muslim terbesar di Amerika Serikat, MuslimGirl.net. Situs tersebut ia dirikan saat umurnya baru 17 tahun karena ia resah melihat betapa sulitnya warga Muslim Amerika, terutama perempuan, hidup paska pengeboman menara kembar Wall Street di tahun 2001. Amani berulang kali menyatakan pentingnya warga Muslim Amerika untuk terus menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami sehari-hari.

5. Nura Afia (blogger kecantikan yang menjadi wajah kosmetik CoverGirl pertama yang berhijab).

Meski Jadi Minoritas, 7 Perempuan Muslim Amerika ini Buktikan Bisa Tetap Berprestasiinstagram.com/nuralailalov

Nura menjadi pembicaraan publik ketika menjadi duta dari salah satu merek kosmetik ternama CoverGirl. Ia adalah perempuan Muslim berhijab pertama yang wajahnya mengisi kampanye produk kosmetik sepopuler CoverGirl. Nura mengawali karirnya di bidang kecantikan sejak menjadi seorang blogger kecantikan yang sekaligus memiliki kanal YouTube sendiri dengan lebih dari 200 ribu pengikut. Menurut pengakuan Nura, ia merasa sangat terhormat dipilih oleh CoverGirl. Ia juga bangga karena bisa mendobrak industri kecantikan arus utama yang selama ini selalu didominasi oleh perempuan-perempuan kulit putih.

6. Noor Tagouri (jurnalis, aktivis, dan perempuan berhijab pertama yang berada di sampul depan majalah Playboy).

Meski Jadi Minoritas, 7 Perempuan Muslim Amerika ini Buktikan Bisa Tetap Berprestasiplayboy.com

Noor adalah salah satu perempuan Muslim Amerika yang meski usianya baru 22 tahun, tapi ia memiliki pemikiran yang sangat dewasa. Lahir sebagai keturunan Muslim Libya-Amerika, Noor merasakan ada penilaian miring mengenai perempuan berhijab di Amerika. Mayoritas berasumsi bahwa itu adalah paksaan dan wujud tunduknya perempuan pada patriarki.

Namun, Noor melawan itu semua dengan mengaku bahwa ia berhijab karena kesadarannya sendiri. Meski berjihab, Noor tak lantas menutup diri. Ia tak hanya menjadi jurnalis yang kritis, tapi juga aktivis. Tak sampai di situ, ia pun jadi perempuan berjibab pertama yang berada di sampul depan majalah Playboy tahun 2016-- sesuatu yang cukup menggemparkan.

7. Mona Haydar (pemilik booth kopi yang menggunakan konsep 'Ask a Muslim' untuk menjembatani komunikasi antara warga Amerika kebanyakan dengan Muslim).

Meski Jadi Minoritas, 7 Perempuan Muslim Amerika ini Buktikan Bisa Tetap Berprestasiinstagram.com/radyahanom

Mona Haydar pertama kali mencuri perhatian pada awal tahun 2016 lalu. Ia dan suaminya, Sebastian Robins, punya booth di pinggir jalan yang berlokasi di Cambridge, Massachusetts, dengan konsep 'Ask a Muslim' di mana ia mempersilakan konsumen menanyakan pertanyaan apapun tentang Islam. Awalnya ia mengaku takut. Namun, ia juga resah karena Islamophobia yang semakin meningkat di Amerika, terutama paska serangan terorisme di Paris pada tahun 2015. Akhirnya, Mona memantapkan hati untuk menjalankan booth kopi dengan konsep 'Ask a Muslim' ini.

Baca Juga: Pertama Dalam Sejarah, Wanita Berjilbab Ini Berhasil Ikut Kontes Kecantikan Amerika Serikat

Topik:

Berita Terkini Lainnya